Tak dapat disangkal, bahwa semua itu karena minimnya
pendidikan agama sedari dini, sejak manusia dalam kandungan. Sejak kecil
harusnya seorang anak tidak dibiarkan berkeliaran di luar kontrol orang tuanya.
Orang tua terkadang sibuk mencari nafkah, dengan dalih demi kelangsungan hidup
keluarga. Mereka lupa, hakekatnya pendidikan akhlak dan kasih sayang kepada
anak adalah lebih penting dari sekadar menimbun uang.
ANAK,
AMANAH ATAS KEDUA ORANG TUA
Kita tak perlu heran terhadap mereka yang telah
menyia-nyiakan perintah Allah di dalam hak anak dan keluarga mereka. Seandainya
api dunia mengenai anaknya atau nyaris menyentuhnya, pasti ia akan berjuang
sekuat tenaga untuk menghindarkan anaknya dari api tersebut, dan buru-buru
pergi ke dokter untuk segera mengobati luka-lukanya. Adapun api akhirat, maka
ia tidak mau mencoba untuk membebaskan anak-anak dan keluarganya darinya.
Wallahu al Musta’an.
Padahal Allah ‘Azza Wajalla telah berfirman, artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(QS. At-Tahrim: 6).
Seorang ayah adalah penanggung jawab pertama, lantaran ia
sebagai pemimpin dalam rumah tangganya, maka ia akan ditanya oleh Allah ‘Azza
Wajalla tentang rumah tangganya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda,
وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا
وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ
“Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya, dan ia
akan ditanya atas kepemimpinannya, dan seorang istri adalah pemimpin dalam
rumah tangga suaminya dan anaknya, maka ia akan ditanya tentang mereka.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Oleh sebab itu, kedua orang tua harus bangkit melaksanakan
kewajibannya terhadap anak, berupa perhatian, pengawasan, dan pendidikan yang
baik, agar kelak menjadi generasi yang baik dapat memberi manfaat bagi orang
tua dan kaum Muslimin yang lain.
HAL
PERTAMA YANG PERLU DIAJARKAN KEPADA ANAK
Orang tua, terutama ibu, memiliki peranan terbesar dalam
pendidikan anak-anaknya. Akan tetapi seringkali mereka tidak mengetahui dari
mana mereka harus mulai menanamkan akidah Islam pada buah hatinya, bagaimana
mengajarkannya dan bagaimana menancapkannya pada hati mereka.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah teladan
terbaik bagi kita dalam segala hal, termasuk dalam pergaulan beliau dengan
anak-anak. Dalam masalah ini, kita bisa memetik lima pokok dalam pendidikan
beliau terhadap akidah anak-anak:
1. Membiasakan anak
mengucapkan dan mendengarkan kalimat tauhid dan memahamkan maknanya jika ia
telah besar.
Wajib atas orang tua untuk menumbuhkan tauhid terhadap
Allah pada anak-anaknya sedari dini. Oleh karena itu, ajarkan dan pahamkan anak
bahwa Rabb mereka adalah Allah ‘Azza Wajalla Dialah yang menciptakan, yang
memberi rejeki, yang menghidupkan dan makna-makna rububiyyah Allah lainnya.
Setelah mengenal keagungan Allah dalam rububiyah-Nya, iringilah dengan
mengajarkan bahwa Allah-lah yang berhak untuk disembah, diibadahi, disyukuri,
diharapkan dan hanya kepada-Nya pula ditujukan segala jenis ibadah. Tak kalah
pentingnya memperingatkan mereka dari syirik dan menjelaskan bahayanya pada
mereka.
2. Menanamkan Kecintaan anak
terhadap Allah
Dalamnya kecintaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan
tertanamnya keimanan terhadap takdir-Nya membawa seorang anak untuk bisa
menghadapi hidupnya dengan optimis dan tawakkal. Benih cinta kepada Allah yang
tertanam akan menumbuhkan keberanian, karena dia akan menyadari bahwa tidak ada
yang pantas ditakuti kecuali kemurkaan-Nya.
Gambaran keberanian yang menakjubkan ini terlukis pada diri
seorang anak kecil, hasil didikan generasi mulia, Abdullah bin Az-Zubair. Suatu
saat Abdullah dan anak-anak sebayanya berkumpul dan bermain-main di suatu
jalan. Ketika melihat Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhum lewat di jalan
tersebut, semua anak berlarian kecuali Abdullah bin Az-Zubair. Menyaksikan
peristiwa itu, Umar merasa takjub sehingga bertanya kepada anak kecil itu, apa
sebabnya ia tidak lari seperti anak-anak lainnya. Abdullah kecil pun menjawab,
“Aku tidak bersalah sehingga aku harus lari, dan aku tidak takut pada Anda,
sehingga aku harus meluaskan jalan bagi Anda.”
Inilah sosok mungil Abdullah bin Az-Zubair, tidak ada yang
ditakutkannya kecuali kemurkaan Rabbnya karena melanggar larangan atau
meninggalkan perintah-Nya.
3. Menanamkan kecintaan anak
pada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
Dalam riwayat Bukhari dari Umar bin Khattab Radhiyallahu
‘Anhum bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدَكُمْ حَتَّى
أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga aku lebih
dia cintai daripada ayahnya, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari).
Betapa pentingnya kecintaan terhadap Nabi Shallallahu
Alaihi Wasallam sampai-sampai tidak akan sempurna iman seseorang tanpanya.
Membacakan sirah (sejarah) Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam dan mengenalkan mereka akan sifat-sifat beliau yang mulia merupakan
upaya terbaik untuk menumbuhkan kecintaan mereka pada beliau.
4. Mengajarkan pada anak Al
Qur’an Al Karim
Sepantasnya bagi orang tua untuk memulai pelajaran bagi
putra-putrinya dengan Al Qur’an sejak dini. Yang demikian itu untuk menanamkan
pada mereka bahwa Allah adalah Rabb mereka dan Al Qur’an adalah firman-Nya.
Menancapkan ruh Al Qur’an pada hati-hati mereka dan cahaya Al Qur’an pada
pikiran-pikiran mereka, sehingga mereka tumbuh di atas kecintaan kepada Al
Qur’an. Hati mereka menjadi terikat padanya sehingga mereka siap untuk
mengikuti perintahnya dan berhenti dari larangan-larangan yang ada padanya, berakhlak
dengan akhlak Al Qur’an dan berjalan di atas manhajnya.
Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa mengajarkan Al Qur’an pada
anak merupakan salah satu pokok Islam agar mereka tumbuh di atas fitrahnya, dan
cahaya hikmah itu lebih dahulu menancap di hati mereka sebelum menetapnya hawa
nafsu, kotoran-kotoran maksiat dan kesesatan.
Para salafus shaleh biasa mengajari anak-anak mereka Al
Qur’an sebelum mencapai usia 3 tahun, sehingga kita akan dapati pada usia yang
masih belia, mereka telah menghapal Al Qur’an. Sebut saja Imam Syafi’i, beliau
telah hapal Al Qur’an pada usia 10 tahun, demikian pula Imam Nawawi
rahimahumallah.
5. Mendidik anak untuk.
berakhlak yang baik
Islam sebagai agama yang sempurna dan relevan di setiap
tempat dan zaman sangat menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak. Nabi Shallallahu
Alaihi Wasallam diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Sebagaimana sabdanya,
نَّمَا
بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Aku diutus oleh Allah tidak lain untuk menyempurnakan
akhlak yang sholeh” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani).
Akhlak merupakan tolok ukur iman seseorang. Sebagaimana
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
أَكْمَلُ
الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang
paling sempurna akhlaknya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al
Albani).
Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
pernah ditanya tentang penyebab yang paling banyak orang masuk surga. Beliau
menjawab,
تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ
“Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi
dan Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani).
مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي
الْمِيزَانِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ
“Tidak ada sesuatu yang paling berat dalam timbangan
melebihi akhlak yang baik.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Hadits-hadits di atas menunjukkan betapa akhlak yang baik
memiliki keutamaan dan ketinggian derajat. Sudah sepantasnya apabila kita
berusaha untuk memilikinya. Tetapi perlu diingat bahwa ukuran baik buruknya
akhlak seseorang tidaklah didasari oleh selera individu masing-masing, atau
menurut adat istiadat yang berlaku di masyarakat. Semuanya harus berpedoman
menurut norma Islam.
6. Memilih sekolah / lembaga
pendi-dikan yang baik bagi anak
Adanya generasi yang buruk, bukan karena kesalahan mereka
semata, namun ada faktor lain yang turut menentukan hal tersebut.
Selain keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak-anak,
pendidikan formal pun memiliki peranan penting dalam pembentukan kepribadian
seorang anak. Akan tetapi, pendidikan formal saat ini, pada umumnya tidak mampu
mendidik anak didiknya dengan baik. Contoh, sekolah/lembaga pendidikan hanya
sekadar mentransfer ilmu, sedangkan pembinaan kerpribadian jarang dilakukan.
Belum lagi kurikulum yang diterapkan sebagian besar adalah ilmu umum, sedangkan
ilmu agama sangat sedikit sekali, menyebabkan anak didik berperilaku kurang
baik.
Sumber
: http://ma.persis67benda.com
0 komentar:
Posting Komentar