Peran Guru sebagai Motivator


Sejalan dengan pergeseran makna pembelajaran dari pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher oriented) ke pembelajaran yang berorientasi kepada siswa (student oriented), maka peran guru dalam proses pembelajaran pun mengalami pergeseran, salah satunya adalah penguatan peran guru sebagai motivator.
Proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa mempunyai motivasi dalam belajar. Oleh sebab itu, guru perlu menumbuhkan motivasi belajar siswa. Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru dituntut kreatif membangkitkan motivasi belajar siswa, sehingga terbentuk perilaku belajar siswa yang efektif.
Dalam perspektif manajemen maupun psikologi, kita dapat menjumpai beberapa teori tentang motivasi (motivation) dan pemotivasian (motivating) yang diharapkan dapat membantu para manajer (baca: guru) untuk mengembangkan keterampilannya dalam memotivasi para siswanya agar menunjukkan prestasi belajar atau kinerjanya secara unggul. Kendati demikian, dalam praktiknya memang harus diakui bahwa upaya untuk menerapkan teori-teori tersebut atau dengan kata lain untuk dapat menjadi seorang motivator yang hebat bukanlah hal yang sederhana, mengingat begitu kompleksnya masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku individu (siswa), baik yang terkait dengan faktor-faktor internal dari individu itu sendiri maupun keadaan eksternal yang mempengaruhinya.
Terlepas dari kompleksitas dalam kegiatan pemotivasian tersebut, dengan merujuk pada pemikiran Wina Senjaya (2008), di bawah ini dikemukakan beberapa petunjuk umum bagi guru dalam rangka meningkatkan motivasi belajar siswa
    1. Memperjelas tujuan yang ingin dicapai.
    2. Membangkitkan minat siswa.
    3. Ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar.
    4. Berilah pujian yang wajar terhadap setiap keberhasilan siswa.
    5. Berikan penilaian.
    6. Berilah komentar terhadap hasil pekerjaan siswa.
    7. Ciptakan persaingan dan kerja sama.
    Di samping beberapa petunjuk cara membangkitkan motivasi belajar siswa di atas, adakalanya motivasi itu juga dapat dibangkitkan dengan cara-cara lain yang sifatnya negatif seperti memberikan hukuman, teguran, dan kecaman, memberikan tugas yang sedikit berat (menantang). Namun, teknik-teknik semacam itu hanya bisa digunakan dalam kasus-kasus tertentu. Beberapa ahli mengatakan dengan membangkitkan motivasi dengan cara-cara semacam itu lebih banyak merugikan siswa. Untuk itulah seandainya masih bisa dengan cara-cara yang positif, sebaiknya membangkitkan motivasi dengan cara negatif dihindari.

    sumber : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/22/peran-guru-sebagai-motivator-dalam-ktsp/
    Read More...

    Guru dan Siswa yang Terintimidasi

    Les Parsons dalam bukunya yang berjudul Bullied Teacher Bullied Student mengupas tentang perilaku intimidasi di sekolah, baik yang dilakukan oleh siswa, guru, maupun kepala sekolah. Dengan mengutip pemikiran Peter Randall, dikemukakannya bahwa yang dimaksud dengan perilaku intimidasi adalah perilaku agresif yang muncul dari suatu maksud yang disengaja untuk mengakibatkan tekanan kepada orang lain secara fisik dan psikologis. Perilaku yang agresif dan menyakitkan ini dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang. Disebutkan pula, bahwa kunci utama dari pengertian ini terletak pada penyalahgunaan secara sistematis dari ketidakseimbangan kekuatan.
    Terdapat beberapa poin penting tentang permasalahan perilaku intimidasi di sekolah, diantaranya:
    • Di sekolah, intimidasi dapat terjadi dimana saja dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Pelaku intimidasi bisa siswa atau orang dewasa.
    • Pelaku intimidasi dapat beraksi sendirian atau bersama kaki tangan.
    • Sasaran intimidasi dapat merupakan seseorang atau sekelompok orang.
    • Intimidasi adalah perbuatan berulang seseorang atau sekelompok orang yang takut kepada si pelaku intimidasi Di sini tampak terdapat ketidakseimbangan kekuatan.
    • Pelaku intimidasi secara sengaja bermaksud menyakiti seseorang secara fisik, emosi atau sosial.
    • Pelaku intimidasi sering merasa perbuatannya itu dapat dibenarkan.
    • Pelaku intimidasi sering terorganisasi dan sistematis.
    • Pelaku intimidasi para saksi atau penonton yang tidak akan berbuat apa pun untuk menghentikan intimidasi itu atau malah mendukung perbuatan tersebut.
    • Intimidasi dapat berlangsung untuk waktu jangka pendek atau untuk waktu yang tidak terbatas.
    Ilustrasi berikut ini mungkin dapat memberikan gambaran tentang perilaku intimidasi yang terjadi di sekolah, baik yang dilakukan siswa, guru, kepala sekolah maupun orang tua;:
    1. Seorang siswa yang populer, menarik dan berprestasi, yang dipandang oleh orang dewasa sebagai sosok yang patut ditiru dan seorang pemimpin kelas, namun dibalik itu dia memiliki pengaruh sosial untuk mendominasi, mengendalikan dan secara selektif mengucilkan teman-temannya.
    2. Seorang guru pekerja keras yang dimata orang tua dianggap sebagai seorang yang profesional dan mampu mengendalikan kelas dengan sempurna, serta memiliki standar-standar tinggi, tetapi secara berkala membuat siswa menangis karena kata-kata kasarnya, tindakan-tindakan yang mempermalukan dan ejekan-ejekannya.
    3. Kepala sekolah yang dengan seksama dan sistematis melecehkan staf dan guru yang dianggap sebagai saingannya, sementara dihadapan atasannya ia terlihat berperilaku lembut dan penurut.
    4. Orang tua agresif; untuk menekan perilaku agesif anaknya di rumah, tetapi merespons luapan keagresifan terpendamnya di sekolah dengan menyalahkan pihak sekolah secara keji dan berang, secara terus menerus melecehkan sekolah atas setiap kecerobohan yang mereka lihat.
    A. Siswa yang Mengintimidasi
    Siswa yang melakukan intimidasi pada siswa lain terdorong oleh beberapa alasan:
    1. Gangguan pengendalian diri;
    Siswa seperti ini merasa berselisih dengan dunia yang serba bermusuhan. Mereka mengalami kegelisahan emosional, salah menafsirkan dan salah memahami segala bentuk interaksi dengan orang lain, dan tidak mampu mengendalikan dorongan-dorongan agresif; yang muncul. Mereka sering melanggar peraturan, memulai tindakan agresif, ;merusak milik orang, menyalahkan orang lain, dan menunjukkan kurang pengertian atau simpati terhadap hak-hak dan perasaan orang lain.
    2. Intimidasi yang dipelajari
    Siswa dapat belajar mengintimidasi melalui berbagai cara, seperti: menyaksikan perbuatan-perbuatan kejam, mendapat imbalan atas tindakan ;agresif yang pernah dilakukannya, termasuk jika dia mendapatkan perlakuan agresif dari orang lain.
    Penggunaan hukuman fisik, hukuman yang tidak konsisten dan pemanjaan berlebihan yang dilakukan oleh orang tua memiliki korelasi dengan perilaku agresif anaknya.
    3. Mengintimidasi untuk memperoleh sesuatu
    Ketika sebagian besar anak melakukan intimidasi, mereka mempunyai tujuan yang jelas dalam benak mereka. Mereka sengaja menggunakan kekerasan untuk memperoleh apa yang mereka inginkan dari orang lain—uang jajan, jawaban ketika mengahadapi ujian, atau hanya sekedar kesenangan untuk mendominasi, dan bahkan untuk memperkokoh status dan harga diri dalam hierarki sosial
    Untuk menghadapi kasus-kasus di atas, para guru mestinya dapat melihatnya sebagai gejala dari suatu kelainan, bukanlah perbuatan atas kemauan sendiri. Dalam hal ini, bukan berarti guru membolehkan atau memaafkan perilaku agresif tersebut, tetapi guru harus mampu merencanakan pendekatan manajemen kelas yang tepat, bekerja sama dengan ahli atau nara sumber spesialis yang terlatih.
    B. Guru yang Mengintimidasi
    Guru pelaku intimidasi adalah guru yang menggunakan kekuasaannya untuk menghukum, memanipulasi, atau mengolok-olok siswa, melampaui tindakan disipliner yang masuk akal.
    Guru pelaku intimidasi kadang tidak mampu melihat dirinya yang sesungguhnya. Mereka mengartikan perlakuan agresifnya sebagai suatu tindakan yang tegas, perkataan mereka yang kasar dianggapnya sebagai ungkapan jujur, ketidakkonsistenan sebagai flesksibilitas, serta kekakuan dan obsesi mereka terhadap hal-hal remeh dianggap sebagai ketelitiannya. Pelaku-pelaku intimidasi semacam ini jarang mengakui kesalahan mereka dan menganggap kekeliruan adalah kesalahan orang lain. Mereka merasa penting, berkuasa, elite dan berhak. Menganggap orang lain iri, memanipulasi dan mengeksploitasi orang lain demi kepentingan mereka sendiri, dan tidak memiliki empati bagi target mereka. Mereka menjadi pribadi yang egois, tidak dapat diprediksi, kritis dan pemarah. Sebagai orang dewasa, guru pelaku intimidasi lihai dalam memilih sasaran, terutama ke samping, ke bawah, tetapi jarang mengintimidasi ke atas.
    Perilaku guru mengintimidasi meliputi: (1) kekerasan verbal melalui penggunaan stereotip- stereotip dan penamaan yang bermuatan seksis, rasis, kultur, sosio-ekonomi, ketidaksempurnaan fisik dan homofobik; (2) kekerasan fisik; seperti mengguncang, mendorong, mencubit, menjambak, menjewer, memukul dengan penggaris atau melemparkan sesuatu; (3) kekerasan psikologis; berteriak, berbicara dengan sarkasme, menyobek hasil herja, mengadu domba siswa, membuat ancaman-ancaman.; (4) kekerasan yang berkaitan dengan profesionalisme; penilaian yang tidak adil, menerapkan hukuman dengan pilih-pilih, menggunakan cara-cara pendisiplinan yang tidak pantas, mengarahkan pada kegagalan dengan menetapkan standar yang tidak wajar, membohongi rekan kerja, orang tua siswa, atasan mengenai perilaku siswa, mengambil kesempatan dengan menggunakan materi-materi atau pengayaan, mengintimidasi orang tua karena hambatan bahasa, budaya, atau status sosial ekonomi.
    C. Kepala Sekolah yang Mengintimidasi
    Kepala sekolah memulai kariernya sebagai guru dan kemudian dipromosikan melalui jenjang karier. Perkembangan itu adalah sumber dari kekuatan terbesar mereka dan juga kelemahan terbesar mereka. Kapasitasnya sebagai manajer, kerapkali menjadikan guru, karyawan dan siswa sebagai sasaran kekerasan. Kepala sekolah yang suka mengintimidasi akan menghasilkan perilaku intimidasi pula pada guru, karyawan dan bahkan siswa. Kepala sekolah yang mengintimidasi sering mencoba meremehkan dan merusak hasil kerja guru yang paling berbakat dan kreatif, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap sekolah. secara keseluruhan Perilaku kepala sekolah yang mengintimidasi seringkali menjadi kontradiktif dan membingungkan. Mereka memandang bahwa diri mereka disalahmengertikan dan diganggu. Padahal, faktanya mereka adalah perusak dan disfungsional.
    Setiap sekolah haruslah menjadi tempat dimana siswa dan seluruh komunitas merasa aman dan tentram secara fisik maupun emosional. Intimidasi dalam bentuk apa pun, baik yang dilakukan oleh siswa, guru atau kepala sekolah dapat menjadi ancaman dan menghalangi proses pembelajaran. Satu-satunya cara untuk secara tegas menghalau dan menjauhkan intimidasi adalah dengan memaksakan keadilan bagi semua. Hanya dengan itulah sekolah-sekolah akan menjadi lingkungan belajar yang positif, di mana proses pembelajaran dapat dimaksimalkan dan setiap siswa merasa dihargai

    sumber : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/09/11/guru-dan-siswa-yang-terintimidasi/
    Read More...

    Hindari Memotivasi dengan Ancaman!


    Dalam perspektif manajemen, salah satu tugas yang harus dijalankan oleh seorang pemimpin adalah berusaha memotivasi setiap individu yang dipimpinnya agar memiliki motivasi yang kuat dalam melaksanakan setiap tugas dan pekerjaannya, sehingga pada girilirannya dapat dihasilkan kinerja yang unggul.  Misalnya, untuk meningkatkan kinerja guru, kepala sekolah atau pengawas sekolah dituntut untuk dapat membina dan meningkatkan motivasi kerja guru. Demikian pula, untuk meningkatkan kinerja siswa (prestasi belajar siswa), seorang guru dituntut untuk dapat  membina  dan meningkatkanmotivasi belajar siswanya.
    Upaya memotivasi (motivating) individu dapat dilakukan melalui berbagai cara.  Menurut Huse dan Bowditch (1973), terdapat tiga model memotivasi seseorang, yaitu: (1) model kekuatan dan ancaman; (2) model ekonomik/mesin, dan (3) model pertumbuhan-sistem terbuka.
    Yang akan kita bicarakan di sini adalah model yang pertama yaitu pemotivasian  model kekuatan dan ancaman (a force and coercion model). Model ini merupakan model tertua dan sangat sederhana dalam memahami atau memandang manusia.  Model ini mempratikkan pemotivasian dengan cara memaksa orang lain (baik melalui tindakan atau verbal) untuk berperilaku tertentu  dengan cara menggunakan ancaman,  intimidasi atau bentuk lain yang bersifat represif dengan menggunakan kekuatan (power), yang dimilikinya.
    Asumsi yang mendasari model pemotivasian  model kekuatan dan ancaman ini adalah bahwa seseorang akan bekerja (belajar atau berperilaku) dengan baik apabila disudutkan pada sebuah situasi, di mana ia hanya bisa memilih bekerja ataukah dihukum (Huse dan Bowditch, 1973).
    Asumsi ini senada dengan asumsi yang mendasari teori X-nya McGregor, bahwa pada dasarnya manusia itu malas, suka menghindari tugas dan tanggung jawab, dan apabila tidak diintervensi dan diancam oleh atasan, maka ia akan pasif. Oleh sebab itu agar seseorang mau bekerja ia harus dipaksa (Carver dan Sergiovanni, 1969).
    Pemotivasian Model Kekuatan dan Ancaman oleh beberapa kalangan sering disebut sebagai strategi buntu, yaitu strategi yang terpaksa digunakan ketika pemimpin sudah merasa kehabisan akal  (atau justru kehilangan kewarasannya?) untuk merubah perilaku orang-orang yang dipimpinnya.
    Sepintas, model pemotivasian yang menebarkan kecemasan ini tampak sangat efektif untuk memotivasi seseorang. Melalui ancaman dan intimidasi tertentu, orang akan menjadi patuh dan bekerja sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan (atau mungkin tepatnya sesuai dengan keinginan).
    Namun dibalik itu perlu diwaspadai,  penggunaan pemotivasian model kekuatan dan ancaman ini ternyata  dapat menjadikan orang tidak bahagia dan dapat merusak kepribadian seseorang. Dengan adanya ancaman terus menerus, orang akan merasa tidak bisa mengembangkan potensinya, mengalami ketumpulan berfikir, dan mengalami ketegangan jiwa (stress).
    Dalam konteks sekolah, Les Parsons dalam bukunya yang berjudul Bullied Teacher Bullied Student mengupas tentang perilaku intimidasi di sekolah yang dilakukan siswa, guru dan kepala sekolah. Dikatakannya, bahwa pelaku intimidasi secara sengaja bermaksud menyakiti seseorang secara fisik, emosi atau sosial dan pelaku intimidasi sering merasa perbuatannya itu dapat dibenarkan.
    Dalam konteks bisnis, hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr Nicolas Gillet, dari Universite François Rabelais di Prancis menunjukkan bahwa manajer yang menggunakan ancaman sebagai cara untuk memotivasi karyawan, cenderung memiliki dampak negatif pada kesejahteraan karyawan.
    Jika sudah seperti ini,  maka  hasil dari upaya pemotivasian akan menjadi terbalik, seharusnya dapat meningkatkan kinerja atau prestasi yang lebih baik malah yang terjadi adalah penderitaan dan kerusakan kepribadian.
    Oleh karena itu, untuk menjadi pemimpin yang sukses sedapat mungkin kita perlumenghindari penggunaan pemotivasian model kekuatan dan ancaman ini. Gunakanlah cara-cara pemotivasian lain yang lebih manusiawi, yang dapat menjadikan orang-orang berbahagia, mampu berinovasi dan dapat mengoptimalkan segenap potensi yang dimilikinya.
    Bagaimana menurut Anda?
    sumber : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2012/02/12/motivasil-pemotivasian/
    Read More...

    Pentingnya Pendidikan Anak Sejak Dini

    Merebaknya perilaku menyimpang di kalangan remaja, merupakan satu bukti kemerosotan akhlak masyarakat. Mereka sudah tidak lagi terikat dengan agamanya. Banyaknya kemaksiatan seperti meluasnya penyalahgunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas, durhaka kepada kedua orang tua, adalah segelintir contoh dan bukti betapa generasi muslim semakin jauh dari sentuhan nilai-nilai islami.

    Tak dapat disangkal, bahwa semua itu karena minimnya pendidikan agama sedari dini, sejak manusia dalam kandungan. Sejak kecil harusnya seorang anak tidak dibiarkan berkeliaran di luar kontrol orang tuanya. Orang tua terkadang sibuk mencari nafkah, dengan dalih demi kelangsungan hidup keluarga. Mereka lupa, hakekatnya pendidikan akhlak dan kasih sayang kepada anak adalah lebih penting dari sekadar menimbun uang.

    ANAK, AMANAH ATAS KEDUA ORANG TUA
    Kita tak perlu heran terhadap mereka yang telah menyia-nyiakan perintah Allah di dalam hak anak dan keluarga mereka. Seandainya api dunia mengenai anaknya atau nyaris menyentuhnya, pasti ia akan berjuang sekuat tenaga untuk menghindarkan anaknya dari api tersebut, dan buru-buru pergi ke dokter untuk segera mengobati luka-lukanya. Adapun api akhirat, maka ia tidak mau mencoba untuk membebaskan anak-anak dan keluarganya darinya. Wallahu al Musta’an.

    Padahal Allah ‘Azza Wajalla telah berfirman, artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).

    Seorang ayah adalah penanggung jawab pertama, lantaran ia sebagai pemimpin dalam rumah tangganya, maka ia akan ditanya oleh Allah ‘Azza Wajalla tentang rumah tangganya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
    وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ
    “Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya, dan ia akan ditanya atas kepemimpinannya, dan seorang istri adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan anaknya, maka ia akan ditanya tentang mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

    Oleh sebab itu, kedua orang tua harus bangkit melaksanakan kewajibannya terhadap anak, berupa perhatian, pengawasan, dan pendidikan yang baik, agar kelak menjadi generasi yang baik dapat memberi manfaat bagi orang tua dan kaum Muslimin yang lain.

    HAL PERTAMA YANG PERLU DIAJARKAN KEPADA ANAK
    Orang tua, terutama ibu, memiliki peranan terbesar dalam pendidikan anak-anaknya. Akan tetapi seringkali mereka tidak mengetahui dari mana mereka harus mulai menanamkan akidah Islam pada buah hatinya, bagaimana mengajarkannya dan bagaimana menancapkannya pada hati mereka.

    Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah teladan terbaik bagi kita dalam segala hal, termasuk dalam pergaulan beliau dengan anak-anak. Dalam masalah ini, kita bisa memetik lima pokok dalam pendidikan beliau terhadap akidah anak-anak:

    1.    Membiasakan anak mengucapkan dan mendengarkan kalimat tauhid dan memahamkan maknanya jika ia telah besar.
    Wajib atas orang tua untuk menumbuhkan tauhid terhadap Allah pada anak-anaknya sedari dini. Oleh karena itu, ajarkan dan pahamkan anak bahwa Rabb mereka adalah Allah ‘Azza Wajalla Dialah yang menciptakan, yang memberi rejeki, yang menghidupkan dan makna-makna rububiyyah Allah lainnya. Setelah mengenal keagungan Allah dalam rububiyah-Nya, iringilah dengan mengajarkan bahwa Allah-lah yang berhak untuk disembah, diibadahi, disyukuri, diharapkan dan hanya kepada-Nya pula ditujukan segala jenis ibadah. Tak kalah pentingnya memperingatkan mereka dari syirik dan menjelaskan bahayanya pada mereka.

    2.      Menanamkan Kecintaan anak terhadap Allah
    Dalamnya kecintaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan tertanamnya keimanan terhadap takdir-Nya membawa seorang anak untuk bisa menghadapi hidupnya dengan optimis dan tawakkal. Benih cinta kepada Allah yang tertanam akan menumbuhkan keberanian, karena dia akan menyadari bahwa tidak ada yang pantas ditakuti kecuali kemurkaan-Nya.

    Gambaran keberanian yang menakjubkan ini terlukis pada diri seorang anak kecil, hasil didikan generasi mulia, Abdullah bin Az-Zubair. Suatu saat Abdullah dan anak-anak sebayanya berkumpul dan bermain-main di suatu jalan. Ketika melihat Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhum lewat di jalan tersebut, semua anak berlarian kecuali Abdullah bin Az-Zubair. Menyaksikan peristiwa itu, Umar merasa takjub sehingga bertanya kepada anak kecil itu, apa sebabnya ia tidak lari seperti anak-anak lainnya. Abdullah kecil pun menjawab, “Aku tidak bersalah sehingga aku harus lari, dan aku tidak takut pada Anda, sehingga aku harus meluaskan jalan bagi Anda.”

    Inilah sosok mungil Abdullah bin Az-Zubair, tidak ada yang ditakutkannya kecuali kemurkaan Rabbnya karena melanggar larangan atau meninggalkan perintah-Nya.

    3.      Menanamkan kecintaan anak pada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
    Dalam riwayat Bukhari dari Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhum bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
    لاَ يُؤْمِنُ أَحَدَكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
    “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dia cintai daripada ayahnya, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari).
    Betapa pentingnya kecintaan terhadap Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sampai-sampai tidak akan sempurna iman seseorang tanpanya.
    Membacakan sirah (sejarah) Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan mengenalkan mereka akan sifat-sifat beliau yang mulia merupakan upaya terbaik untuk menumbuhkan kecintaan mereka pada beliau.

    4.      Mengajarkan pada anak Al Qur’an Al Karim
    Sepantasnya bagi orang tua untuk memulai pelajaran bagi putra-putrinya dengan Al Qur’an sejak dini. Yang demikian itu untuk menanamkan pada mereka bahwa Allah adalah Rabb mereka dan Al Qur’an adalah firman-Nya. Menancapkan ruh Al Qur’an pada hati-hati mereka dan cahaya Al Qur’an pada pikiran-pikiran mereka, sehingga mereka tumbuh di atas kecintaan kepada Al Qur’an. Hati mereka menjadi terikat padanya sehingga mereka siap untuk mengikuti perintahnya dan berhenti dari larangan-larangan yang ada padanya, berakhlak dengan akhlak Al Qur’an dan berjalan di atas manhajnya.

    Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa mengajarkan Al Qur’an pada anak merupakan salah satu pokok Islam agar mereka tumbuh di atas fitrahnya, dan cahaya hikmah itu lebih dahulu menancap di hati mereka sebelum menetapnya hawa nafsu, kotoran-kotoran maksiat dan kesesatan.

    Para salafus shaleh biasa mengajari anak-anak mereka Al Qur’an sebelum mencapai usia 3 tahun, sehingga kita akan dapati pada usia yang masih belia, mereka telah menghapal Al Qur’an. Sebut saja Imam Syafi’i, beliau telah hapal Al Qur’an pada usia 10 tahun, demikian pula Imam Nawawi rahimahumallah.

    5.      Mendidik anak untuk. berakhlak yang baik
    Islam sebagai agama yang sempurna dan relevan di setiap tempat dan zaman sangat menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sebagaimana sabdanya,

    نَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
    “Aku diutus oleh Allah tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang sholeh” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani).
    Akhlak merupakan tolok ukur iman seseorang. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

    أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
    “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling sempurna akhlaknya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani).

    Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah ditanya tentang penyebab yang paling banyak orang masuk surga. Beliau menjawab,
    تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ
    “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani).
    مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ
    “Tidak ada sesuatu yang paling berat dalam timbangan melebihi akhlak yang baik.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

    Hadits-hadits di atas menunjukkan betapa akhlak yang baik memiliki keutamaan dan ketinggian derajat. Sudah sepantasnya apabila kita berusaha untuk memilikinya. Tetapi perlu diingat bahwa ukuran baik buruknya akhlak seseorang tidaklah didasari oleh selera individu masing-masing, atau menurut adat istiadat yang berlaku di masyarakat. Semuanya harus berpedoman menurut norma Islam.

    6.       Memilih sekolah / lembaga pendi-dikan yang baik bagi anak
    Adanya generasi yang buruk, bukan karena kesalahan mereka semata, namun ada faktor lain yang turut menentukan hal tersebut.

    Selain keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak-anak, pendidikan formal pun memiliki peranan penting dalam pembentukan kepribadian seorang anak. Akan tetapi, pendidikan formal saat ini, pada umumnya tidak mampu mendidik anak didiknya dengan baik. Contoh, sekolah/lembaga pendidikan hanya sekadar mentransfer ilmu, sedangkan pembinaan kerpribadian jarang dilakukan. Belum lagi kurikulum yang diterapkan sebagian besar adalah ilmu umum, sedangkan ilmu agama sangat sedikit sekali, menyebabkan anak didik berperilaku kurang baik.


    Sumber : http://ma.persis67benda.com
    Read More...
     
    Copyright (c) 2012 | ICT SMP Nusa Putra Kota Tangerang
    Templates by Bloggermint